Kasus Kriminalisasi terhadap Pembela HAM
Jakarta, IndvasiMediaIndonesia.com - 16 Juni 2023 - Merespons kasus kriminalisasi terhadap pembela HAM, yaitu Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang dilaporkan kepada Kepolisian dengan No. STTLP/B/4702/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya tertanggal 22 September 2021, Komnas HAM menyampaikan sebagai berikut:
1. Terkait dengan kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang dilaporkan kepada Kepolisian dengan No. STTLP/B/4702/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya tertanggal 22 September 2021,Komnas HAM telah melayangkan surat kepada Kejaksaan Negeri Nomor: 408/PM.00/K/III/2023, guna meminta keterangan proses penuntutan terhadap Haris Azhar dan Fatia, dan agar melakukan proses penuntutan sesuai dengan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
2. Komnas HAM telah melayangkan surat kepada Kejaksaan Tinggi Nomor: 409/PM.00/K/III/2023,
meminta agar penanganan kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti mempertimbangkan status
mereka sebagai pembela HAM di bidang lingkungan hidup, yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan yang dijamin dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Bab VI angka 1 sampai 3 Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
3. Pembela HAM berperan penting untuk memastikan penghormatan dan perlindungan bagi masyarakat, terlebih masyarakat marginal, dalam konteks kasus ini misalnya terkait dengan situasi masyarakat di Papua yang kerap mengalami marginalisasi ekonomi, dan kerusakan lingkungan.
4. Pemidanaan terhadap mekanisme check and balance terhadap tata kelola pemerintahan merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Komnas HAM berpendapat bahwa dalam kasus yang melibatkan hal-hal yang menjadi perhatian publik, dalam hal ini kepentingan umum, maka penggugat atau tergugat harus membuktikan tuduhan fakta yang diduga sebagai
pencemaran nama baik.
5. Di samping itu, pengadilan harus memprioritaskan penggunaan sanksi di luar sanksi denda maupun sanksi pidana dalam kasus penghinaan, misalnya diberikan hak untuk mengoreksi atau hak untuk
menjawab. Sanksi yang disampaikan secara berlebihan akan menimbulkan dampak meluas yang buruk (chilling effect), di mana warga mengalami ketakutan untuk mengekspresikan pendapatnya terhadap jalannya pemerintahan.
6. Semua pihak, baik negara maupun masyarakat, perlu mengenal dan mengakui keberadaan pembela HAM beserta peran dan fungsi yang dimilikinya. Setiap orang, kelompok, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pelindungan, penegakan, dan pemajuan HAM. Wujud partisipasi pembelaan HAM yang dilakukan, seharusnya dimaknai sebagai dukungan terhadap tata kelola dan kebijakan pemerintahan yang lebih baik. Keberadaan individu dan organisasi pembela HAM memiliki kontribusi yang penting bagi implementasi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) serta kehidupan demokrasi di Indonesia.
7. Komnas HAM memandang bahwa kasus ini sesungguhnya tidak perlu sampai dibawa ke pengadilan. Namun, karena prosesnya terus bergulir maka Komnas HAM akan hadir di pengadilan untuk memberikan pandangan HAM, apabila Ketua Pengadilan Negeri Jaktim atau Majelis Hakim perkara tersebut menyetujui untuk dibacakan; sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, bahwa Komnas HAM dapat memberikan pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia.
8. Komnas HAM berharap akan tumbuhnya kesadaran publik, baik institusi dan aparatur negara maupun masyarakat, mengenai aktivitas pembela HAM, yang dilakukan oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang juga banyak dilakukan di daerah lain.
Post a Comment